• Home
  • Hi!
  • Thought
  • Review
  • Trip
instagram

The Random Journal

Saat sedang iseng mencari artikel tentang 'Happy' di mesin pencarian Google, tiba-tiba mata saya tertarik pada satu kata yang baru bagi saya yaitu 'Happyologist'. Adakah yang sudah pernah mendengar dan mengetahui istilah itu sebelumnya? Kalau saya sih baru tau. How 'cupu' I am --"

Jadi apa sih Happyologist itu? Happyologist adalah sebutan bagi seseorang yang mempelajari happyology -studi tentang kebahagiaan-. Someone who understands that living with gratitude (even in hard situations) shifts the heart and the head into a better condition.

"Wow keren!", itu kata pertama yang terlintas di pikiran saya setelah mengetahui definisinya. "Berarti para happyologist ini hidupnya bahagia terus ya. Gak pernah sedih. Asik banget.", dan itu kesimpulan saya selanjutnya. Dan ternyata kesimpulan saya itu salah banget. Yang namanya hidup mana ada yang bahagia terus tanpa ada sedih, di cerita fiksi aja banyak banget adegan sedihnya apalagi di kehidupan nyata. Ehmm iya juga sih, hehe.

Jadi ternyata yang membedakan kita dengan para happyologist ini adalah they decided to live with gratitude, they choose happy. Walaupun masalah demi masalah datang bagai badai yang menghadang dan membuat bumi seolah berguncang, bahkan membuat kita kehilangan keseimbangan dalam hidup (hiperbola sekali ya, :D), they train their hearts and minds to see the good in every situations. Mereka percaya bahwa selalu ada hal yang baik dari setiap kejadian. Mereka memilih untuk berpikir positif.

Menurut para happyologist, jika kita ingin bahagia, kita sangat bergantung pada kualitas pikiran kita. Dengan kualitas pikiran yang baik, saat kita mengalami sesuatu hal yang kurang menyenangkan, kita dapat memahami bahwa kita tidak dapat mengubah situasi tersebut, namun kita dapat mengubah cara pandang kita.

Menjadi bahagia bukan tentang selalu merasa puas atas pencapaian diri, melainkan tentang menerima dengan hati yang lapang atas apa yang terjadi setiap harinya dan fokus terhadap hal-hal yang positif dan mengambil manfaat dari kejadian tersebut. Jadi, dengan dapat menerima baik dan buruknya apa yang terjadi di hidup kita akan membuat kita lebih bersyukur, optimis dan memiliki harapan yang baik. Dan pada akhirnya emosi-emosi positif itu dapat menjadikan kita lebih sehat, bahagia dan puas dengan hidup kita.

Ingin berbahagia? Mari pilih bahagia :)
Share
Tweet
Pin
Share
2 comments
Beberapa hari yang lalu, aku melihat postingan instastory teman. Dia menuliskan tentang adanya pembangunan sejumlah fasilitas seperti pendopo tempat istirahat dan toilet tepat di puncak Gunung Ijen. Sebenarnya aku sudah pernah baca artikel tentang pembangunan fasilitas tersebut akhir tahun lalu, lengkap dengan foto-foto keadaan jalur pendakian Gunung Ijen yang berlubang-lubang akibat galian pondasi. Namun tetap saja kaget, karena aku pikir rencana tersebut dibatalkan soalnya ada banyak pihak yang tidak setuju dengan pembangunan fasilitas tersebut. Bahkan komunitas yang concern terhadap gerakan ramah lingkungan, Sea Soldier Banyuwangi membuat petisi yang mengajak masyarakat Indonesia untuk menolak pembangunan yang dilakukan di puncak Ijen. Namun walaupun banyak protes terhadap pembangunan fasilitas tersebut, pada kenyataannya rencana tersebut tetap dilakukan dengan dalih untuk membenahi objek wisata dan memudahkan wisatawan.

Aku termasuk orang yang sangat tidak setuju dengan pembangunan tersebut. Selain mengganggu keindahan alam Gunung Ijen, hal tersebut juga bisa berpotensi mengganggu ekosistem dan konservasi di kawasan Gunung Ijen karena seperti kita ketahui taman wisata Ijen berdampingan dengan cagar alam yang merupakan tempat berbagai biota yang dilindungi.

Setelah membaca berita tentang Gunung Ijen, aku jadi teringat pengalamanku tiga tahun yang lalu (udah lama banget ya? --") saat ngetrip ke Ijen.

Hal yang menarik minatku untuk datang ke Ijen adalah fenomena blue fire yang katanya hanya terjadi di dua tempat di dunia, yaitu di Kawah Ijen dan Islandia. Keinginan untuk datang ke Ijen itu aku realisasikan dengan mengikuti open trip. Jadi tanggal 12 Desember 2015 lalu aku berangkat ke Ijen bareng 14 orang teman yang baru ku temui saat perjalanan ke Ijen. And how I love make some new friends!

Aku ga tau lewat mana Bapak supir mengantar rombongan kami ke Kawah Ijen. Yang aku tau aku sangat menikmati perjalanan ini, memandang jalanan dari kaca jendela mulai dari jalan provinsi, jalanan perkampungan, jalanan pesawahan hingga jalanan yang menembus hutan (ga lebay loh ini), hehe. 

Singkat cerita, rombongan kami sampai di Paltuding (area pemberhentian terakhir sebelum menuju Kawah Ijen) pada pukul 23.00. Begitu keluar mobil, hawa dingin langsung menusuk kulit, padahal aku sudah pakai jaket tebal. Aku buru-buru ke toilet untuk bersih-bersih dan langsung masuk mobil lagi begitu sudah selesai. Rombongan kami dijadwalkan untuk mulai trekking pukul 01.00 jadi aku berencana untuk tidur dulu.

Pukul 01.00 kami sudah ada di garis start untuk memulai trekking menuju Kawah Ijen. Rombongan kami dibagi menjadi tiga bagian, depan, tengah dan belakang. Teman-teman yang cowok tersebar dibagian depan dan belakang. Menurut info, jarak dari Paltuding ke Kawah Ijen sekitar 3 km dengan waktu tempuh antara 2 hingga 3 jam. 1 jam untuk trekking dari paltuding sampai ke puncak Gunung Ijen dan 1-1,5 jam untuk turun dari puncak Ijen ke dasar Kawah Ijen.

Menurut temanku, difficulty level untuk naik ke Ijen tuh gampang. Gak butuh effort berlebih. Itu menurut yang sudah biasa naik ya. Kalo aku sih yaah, lets see. 100 meter pertama sih masih oke karena jalanan belum menanjak. Beberapa meter selanjutnya barulah jalanan mulai menanjak dengan kemiringan 25-35 derajat. Jalur pendakian yang berupa tanah berpasir dan berkerikil membuatku harus hati-hati agar badan tidak merosot ke belakang. Udara yang tadinya dingin sudah tidak begitu terasa saat mendaki. Aku pun melepas jaket karena badan berkeringat. Saat melihat ke atas jalur pendakian, terlihat banyak sekali cahaya dari head lamp pendaki yang menandakan perjalanan masih sangat jauh. Sebel juga sih karena merasa tanjakan gak ada habisnya. Haha. Jalur menanjak akan terus dilalui sampai satu jam pertama, setelah itu jalur akan cukup landai hingga ke puncak.

Blue fire sudah bisa dilihat saat mencapai bibir kawah. Melihat blue fire dari jauh aja udah bikin hatiku seneng. Untuk melihat blue fire dari dekat, kita harus turun menuju kawah. Jalur yang berbatu-batu dan terjal ditambah situasi yang gelap mengharuskan kita untuk ekstra hati-hati. Baru setengah perjalanan turun menuju kawah tiba-tiba angin membawa kepulan asap belerang ke arah dimana aku berdiri, aku merasa kesulitan bernapas karena bau belerang, mata perih dan tenggorokan terasa kering sekali. Saat itu rasanya aku ingin nyerah, ingin naik lagi ke puncak untuk menghindari bau belerang yang menyengat tapi setelah dipikir-pikir, naik lagi ke puncak juga butuh effort, jadi galau deh. Haha. Lalu ada mas-mas yang ngasih tau untuk membasahi masker dengan air secukupnya agar pernapasanku lancar lagi. And it works. Tengkyu, Mas. You saved my life (lebay :p).

Akhirnya aku berhasil sampai di pinggir kawah dan melihat si api biru dari dekat. Masya Allah keren banget. Gak sia-sia deh trekking dari jam 01.00. Sayangnya aku gak punya kamera untuk mengabadikan si api biru, tapi cukuplah dengan melihat langsung, akan aku simpan pemandangan keren ini di ingatanku :)




Sumber belerang.
Saat matahari terbit, Kawah Ijen yang berwarna toska mulai menampakkan keindahannya. Lagi lagi bersyukur banget ada di tempat ini. Alhamdulillah. Setelah puas menikmati keindahan Kawah Ijen, kami pun kembali naik ke puncak untuk kemudian turun ke Paltuding. Saat perjalanan turun menuju Paltuding, barulah aku sadar bahwa jalur yang dilewati malam tadi adalah lembah dan tebing yang curam. Jika saat naik kita akan ngos-ngosan karena tanjakan, maka ketika turun kita harus bersiap dengan turunan dari awal sampai akhir yang bisa bikin telapak kaki, betis dan lutut nyeri. Tapi yaa dinikmati ajalah, kan seru :D
Mas-mas yang lagi istirahat.


Share
Tweet
Pin
Share
3 comments
Mari meracik bersama.
Menakar berapa banyak kopi yang akan digunakan.
Aku tidak terlalu menyukai gula,
tapi tak apa jika kau ingin menambahkannya di cangkir kita.
Agar pahit dan manisnya sesuai selera kita.
Agar kita bahagia dalam menikmati apa yang kita buat.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
Newer Posts
Older Posts

Slice of Lyfe

Labels

  • PERSONAL THOUGHT
  • POEM
  • REVIEW
  • TRIP

Popular Posts

  • Menjadi Seorang INFP
  • Pengalaman Mempunyai Akun Online Dating
  • Kursus Online di Udemy
  • MENIKAH.
  • Menikmati Kopi di Tuang Cafe

Blog Archive

  • ►  2019 (1)
    • ►  February 2019 (1)
  • ▼  2018 (32)
    • ►  December 2018 (1)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  August 2018 (2)
    • ►  July 2018 (5)
    • ►  June 2018 (7)
    • ►  May 2018 (5)
    • ▼  April 2018 (3)
      • Who Wants To Be A Happyologist?
      • Ijen, Si Api Biru
      • Meracik Bahagia
    • ►  March 2018 (3)
    • ►  February 2018 (1)
    • ►  January 2018 (4)
  • ►  2017 (11)
    • ►  December 2017 (11)
Blogger Perempuan

Created with by ThemeXpose