Sepenggal Cerita dari Negeri di atas Awan, Dieng.

by - December 11, 2017


"Pokoknya kita harus enjoy disana!"

Begitulah kira-kira kesepakatan kami ketika akan berangkat menuju Dieng. Akomodasi yang tidak sesuai dengan ekspektasi membuat beberapa orang dari kami jadi malas untuk melakukan perjalanan.

Perjalanan dimulai pada hari Minggu pukul 02.00 tanggal 11 Desember 2016 di Rest Area KM 102 tol Cipali. Perjalanan kami saat itu sangat lancar karena dilakukan pada dini hari. Pukul 04.30 kami berhenti di Mesjid Agung Brebes untuk sholat Subuh, setengah jam kemudian perjalanan pun dilanjutkan.

Pukul 06.30 kami berhenti di Pekalongan untuk sarapan. Aku lupa kami berhenti di jalan apa, yang pasti sih jalanannya lurus (hehe). Di pinggir jalan banyak sekali para pedagang yang menjajakan menu-menu untuk sarapan, dan aku tertarik untuk mencicipi nasi megono. Ada yang belum tau apa itu nasi megono? Yuk sini aku kasih tau (mulai sok). Jadi, nasi megono itu terbuat dari buah nangka muda yang dicincang sangat kecil dan dicampur dengan parutan kelapa. Rasanya? Enak bangeeeet. Tapi sayangnya nasi megono yang aku beli waktu itu porsinya sedikit sekali, kalo menurut adekku sih porsinya pas. Mungkin ada yang salah dengan kapasitas perutku (hehe). Tapi sesuai sih dengan harganya yang murah. Cuma dua ribu rupiah!!! Saking semangatnya makan, aku gak sempat mengabadikan penampakan nasi megono ini. Ini gambar nasi megono yang aku dapat dari mbah Google.

Nasi Megono

Setelah selesai sarapan, perjalanan pun kami lanjutkan. Kami tiba di Dieng sekitar pukul 10.30. "Akhirnya sampai juga di Dieng." Batinku. Hawa dingin khas daerah pegunungan mulai kami rasakan. Entah kenapa aku selalu suka dengan udara pegunungan.

Pukul 11.00 kami tiba di homestay. Saat itu cuaca sedikit mendung, membuat udara semakin dingin. Dari kamar homestay terlihat perkampungan warga dan jalanan yang berkelok-kelok, juga gumpalan awan tebal yang membuat pemandangan terlihat indah.
Pemandangan dari homestay
1st Day
Setelah sholat Dzuhur, kami berangkat menuju destinasi wisata yang pertama, Batu Ratapan Angin.
Arah menuju Batu Ratapan Angin
Batu Ratapan Angin ato yang sering disebut Batu Pandang adalah tempat yang paling oke buat lihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari ketinggian. Batu Ratapan Angin berada di atas bukit yang tidak jauh dari Dieng Plateau Theatre. Jarak dari Dieng Plateau Theatre menuju pos penjagaan Batu Ratapan Angin hanya sekitar 50 meter.

Untuk sampai ke Batu Ratapan Angin, kami harus melewati jalan setapak berbatu yang cukup menanjak. Walaupun jalannya nanjak, kami gak merasa capek karena di sepanjang jalan tersaji pemandangan yang indah. Setelah sekitar 100 meter berjalan dari pos penjagaan akhirnya kami sampai di Batu Ratapan Angin. Sesampainya di atas Batu Ratapan Angin, pemandangan menakjubkan Telaga Kembar terpampang nyata (a la Syahrini, hehe).
Telaga Kembar dilihat dari Batu Ratapan Angin
Kami sampai di Batu Ratapan Angin sekitar pukul 13.00, saat mentari sudah naik. Menurut guide kami, waktu yang pas untuk melihat Telaga Kembar dari Batu Ratapan Angin memang saat matahari sudah naik karena pembiasan sinar matahari terhadap air Telaga Warna yang bersulfur tinggi menghasilkan warna yang indah. Perbedaan warna air Telaga Kembar membuat keunikan tersendiri bagi yang melihatnya. Pemandangan Telaga Warna yang berwarna hijau bersanding dengan Telaga Pengilon yang jernih ditambah latar belakang yang berupa perbukitan dan pegunungan sungguh merupakan lukisan alam yang sangat menawan.

Disana kami tidak melupakan hal yang super wajib, yaitu foto-foto (hehe). Dimanapun dan kapanpun foto-foto gak boleh kelewat, apalagi di tempat yang kece begini, sayang banget kalo gak foto-foto. Dari foto pemandangan, selfie sampai wefie pun kami lakukan, walaupun harus antri dengan pengunjung lainnya untuk dapetin spot yang oke.

Setelah puas berfoto-foto, kami melanjutkan perjalanan menuju Dieng Plateau Theatre. Di Dieng Plateau Theatre kami menonton film dokumenter mengenai sejarah Dieng, fenomena alam yang terjadi di Dieng, adat dan tradisi masyarakat Dieng. Selesai menonton film dokumenter, kami melanjutkan ke destinasi yang selanjutnya, Kawah Sikidang.
Area Kawah Sikidang
Hal pertama yang dirasakan saat menjejakkan kaki di Kawah Sikidang adalah bau belerang yang menyengat. Hamparan tanah berwarna putih kekuningan dan batuan belerang yang tampak tandus menandakan tingginya kandungan belerang di kawasan Kawah Sikidang. 
Disana kami disuguhi pemandangan berupa kolam luas yang berisi campuran air dan lumpur yang mendidih juga kepulan asap uap belerang yang pekat. Pemandangan tersebut menjadi semakin eksotis dengan adanya area perbukitan yang mengelilingi area kawah.

Saat berjalan disekitar area kawah utama, aku sempat menemukan lubang luapan lumpur yang kecil. Konon nama Sikidang diberikan oleh penduduk setempat karena karakteristik yang unik dari kawah ini, dimana terdapat lubang-lubang luapan lumpur yang cukup banyak dan selalu berpindah-pindah tempat seperti seekor kidang (rusa) yang selalu melompat dari suatu tempat ke tempat lain. Disana juga banyak ditemui pohon-pohon tanpa daun yang sudah mati yang membuat pemandangan semakin menarik. Hal yang disayangkan menurutku adalah keberadaan beberapa tulisan-tulisan besar di spot-spot sekitar area kawah yang membuat kesan tidak alami.
Kawah Sikidang
Karena hari sudah menjelang petang, kami harus menyudahi jalan-jalan disekitar Kawah Sikidang untuk melanjutkan ke destinasi selanjutnya.

Jalan-jalan di hari pertama kami tutup dengan menyambangi Komplek Candi Arjuna. Komplek Candi Arjuna merupakan komplek candi tertua di Pulau Jawa dan merupakan peninggalan umat Hindu. Ada lima candi mungil yang berada di area Komplek Candi Arjuna. Komplek Candi Arjuna ini merupakan tempat ruwatan anak gimbal Dieng dalam acara budaya tahunan yang dikenal dengan Dieng Culture Festival.
Komplek Candi Arjuna
Candi Arjuna
Saat itu hari mulai gelap dan turun rintik-rintik hujan yang membuat udara dingin semakin menggigit. Kami memutuskan untuk menyudahi trip ini dan kembali ke homestay.
Sebelum kembali ke homestay, kami mencicipi kuliner khas Wonosobo yaitu mie ongklok. 
Mie Ongklok
Mie ongklok adalah mie rebus yang disajikan dengan potongan kol, daun kucai dan kuah yang kental. Biasanya mie ongklok disajikan dengan sate sapi sebagai pelengkapnya. Rasanya? Mantap!!! Menurutku sih yang bikin beda itu kuahnya. Rasa kuah kentalnya itu manis-manis gurih gitu deh, kayanya sih rasa manisnya berasal dari gula jawa dan rempah-rempah sedangkan rasa gurihnya dari bumbu kacang yang ada dari sate sapi. Pokoknya mie ongklok ini worth to try deh, serius, gak bohong. Setelah kenyang dengan mie ongklok, kami kembali ke homestay untuk istirahat agar stamina oke saat mengejar matahari besok.

2nd Day
Dinginnya udara membuat kami malas untuk beranjak dari tempat tidur. Rencana untuk siap-siap pukul 02.00 pun gagal. Kami lebih memilih menghangatkan badan di bawah selimut tebal. Tepat pukul 03.00 kami baru mulai untuk siap-siap, 03.30 kami berangkat dari homestay menuju Bukit Sikunir.

Ketika turun dari mobil kami langsung merasakan hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang. Jaket tebal yang kami kenakan tidak mampu mengusir hawa dingin Sikunir, tapi kami harus tetap berjalan menuju Sikunir untuk melihat Golden Sunrise yang katanya paling indah di Indonesia. Kami berjalan mulai dari area parkir, banyak sekali wisatawan yang juga ingin menyaksikan matahari terbit di Sikunir. Di pinggir-pinggir jalan banyak pedagang yang menjual makanan ringan dan minuman hangat untuk orang-orang yang ingin beristirahat sejenak.

Trek menuju Sikunir tergolong cukup mudah karena jalannya rata-rata tanah dan sebagian sudah dirapihkan dengan batu-batu, malah ada yang sudah diberi pagar pegangan namun tetap saja bikin capek karena jalannya menanjak. Karena semalam wilayah Dieng diguyur hujan maka kami harus berhati-hati saat berjalan karena jalanan sangat licin.
Setelah sekitar setangah jam berjalan akhirnya kami sampai di Bukit Sikunir. Padatnya orang-orang di tanah bukit yang cuma seuprit itu udah kayak kerumunan orang lagi ngantri tiket kereta api di stasiun pas lebaran. Rame banget. Kami harus nyempil-nyempil untuk dapetin spot yang oke.

Semua mata tertuju pada langit gelap tempat kehadiran sang fajar. Sekitar pukul 04.30 terjadi perubahan warna langit secara perlahan dari gelap menjadi terang seiring datangnya mentari. Pemandangan langit biru yang bercampur dengan kuning emas memanjakan mata kami. Gagahnya Sindoro, Sumbing, Merapi dan Merbabu dari kejauhan pun bisa kami nikmati dari Sikunir. Hamparan awan dan kabut menambah keindahan pada pagi itu, memberi kesan bahwa kami benar-benar sedang berada di Negeri di atas awan, hehe. Berbekal kamera handphone seadanya aku mencoba mengabadikan pemandangan pagi itu, tidak lupa selfie dan wefie tentunya, walaupun harus berdesak-desakan dengan pengunjung lain, hehe. Setelah puas berfoto kami langsung menuruni bukit untuk menuju ke parkiran. Walaupun momen matahari terbit sudah lewat tapi masih banyak pengunjung yang baru akan menaiki Bukit Sikunir.



Sebelum sampai di parkiran, kami jajan dulu karena perut kami lapar, maklumlah kami tidak sempat sarapan. Kami membeli bubur sumsum, kentang goreng, mendoan dan tahu goreng, dan itu semua belum membuat kami kenyang --".

Setelah sampai di parkiran, kami langsung naik mobil untuk melanjutkan ke destinasi selanjutnya, yaitu Telaga Warna.

Dari parkiran terlihat tenda-tenda di pinggir sebuah telaga yang bernama Telaga Cebong. Ternyata di sekitar Telaga Cebong memang dijadikan area camping. Aku jadi nyesel karena gak nyoba camping di Telaga Cebong. Tapi gak kebayang juga sih gimana dinginnya udara di Telaga Cebong kalau malam hari.
Telaga Cebong

Area Camping di Telaga Cebong
Jarak dari kawasan Sikunir ke Telaga Warna tidak begitu jauh, hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit jika menggunakan mobil. Kalau kemarin kami melihat Telaga Kembar dari ketinggian di Batu Ratapan Angin, maka hari ini kami melihat Telaga Kembar dari dekat. Telaga Warna yang airnya berwarna hijau (dan katanya bisa berubah-ubah) dikelilingi bukit-bukit yang indah, membuat pemandangannya semakin mempesona, MasyaAllah.

Telaga Warna
Selain menikmati Telaga Warna dan Telaga Pengilon, kami juga mengunjungi goa-goa yang ada di sekitar telaga. Ada beberapa goa di kawasan Telaga Warna, yaitu goa Semar, goa Pengantin dan goa Jaran. Masing-masing goa memiliki cerita tersendiri.
Goa Semar
Karena hari semakin siang, kami memutuskan untuk segera meninggalkan kawasan Telaga Warna dan menuju homestay untuk bersiap-siap kembali ke rumah. Sebelum kembali ke homestay, kami mampir dulu ke toko oleh-oleh. Aku membeli manisan carica (baca : karika). Konon carica hanya bisa tumbuh di dataran tinggi Dieng. Carica adalah sejenis pepaya yang berukuran lebih kecil. Rasa manisan carica sangat enak dan segar. You have to try that manisan, hehe. Oleh-oleh telah terbungkus rapi, saatnya kami menuju homestay untuk bersiap-siap pulang.
Pohon carica. Source : www.wisatadieng.com

Manisan carica. Source : www.wisatadieng.com
Setelah selesai packing, kami pun pulang menuju peradaban masing-masing. Terimakasih Dieng atas kesempatan menikmati alammu. Bye!




You May Also Like

0 comments